Belajar Apa?

Bismillah…

So long time ago gak corat-coret di sini. Entah kenapa pikiran kali ini pingin ditulis di sini. Pagi ini, ada sedikit drama sebelum Farzan memulai aktivitas rutin pagi sekolah.

Farzan 2021 ini sudah mulai berstatus sebagai siswa kelas 1 SD. Di masa pandemi ini pembelajaran dilakukan secara jarak jauh. Jadwal di mulai dari pukul 7.30 dengan pelajaran pertama pembelajaran Al Quran, tahfiz dan tahsin.

Selanjutnya adalah kelas reguler yang diawali dengan sholat Dhuha berjamaah. Sebelum solat, tentu yang harus dilakukan adalah berwudhu. Nah, ketika sesi berwudhu ini lah saya jadi makin yakin dan tersadar akan sesuatu hal.

Meski dengan banyaknya kelemahan sistem pembelajaran jarak jauh, satu hal yang saya syukuri adalah saya jadi lebih fokus dan bisa menyadari hal-hal kecil yang terjadi pada Farzan. Sesuatu yang mungkin kalau di sekolah bisa jadi tidak terlalu kentara terlihat, padahal bisa jadi ini penting untuk Farzan.

Pertama, Farzan masih meminta tolong untuk dibukakan kancing baju sebelum berwudhu. Bukan karena tidak bisa, tapi Farzan bilang dia merasa geli ketika memegang kancingnya. Ada sensasi tidak nyaman, selain geli katanya ada semacam suara yang terdengar. Abstrak ya kedengarannya, tapi itu realitanya.

Kedua, saya jadi sadar kalau Farzan masih butuh diajari dan dilatih ulang oleh saya di rumah cara menggulung baju dan celana dengan lebih baik. Karena selama ini memang jarang sekali pakai baju berkancing, apalagi lengan panjang dan celana panjang yang bahannya seragam. Biasanya Farzan masih asal aja ngegulungnya, alhasil ketika sedang berwudhu, baju dan celananya melorot, efeknya jadi basah banget.

Ketiga, bukan cuma ketika baju/celananya melorot saja, tapi ketika berwudhu, gerakan Farzan masih terlalu cepat dan kurang sempurna untuk berwudhu. Semisal saat membasuh muka, tidak full seluruh muka, ketika membasuh tangan tidak sampai ke bagian siku, saat membasuh kaki, tidak sampai ke mata kaki. Lalu, ketika membasuh telinga dan kepala, entah kenapa pasti efeknya bajunya akan basah sekali.

Masalahnya, kondisi baju yang basah ini kemudian mendatangkan masalah kembali, membuat Farzan kesal dan mood jadi ga oke. Akhirnya jadi kaya lingkaran setan. πŸ˜‚

Tapi itu kan masalah dari sisi Farzan. Padahal ada juga masalah dari sisi saya dan ayahnya sebagai orangtua. Saya jadi sadar, kalau selama ini kurang sempurna mencontohkan cara bwrwudhu di depan Farzan. Kami juga luput mengajarkan tahapan detil yang nampak sepele seperti menggulung baju dan celana tadi.

Karena prosesnya terjadi di rumah, saya jadi sadar ada yang perlu segera diperbaiki. Andaikan ini di sekolah, gak mungkin kan dia bisa ganti bajunya yang basah itu. Jadi harus belajar dari di rumah bagaimana caranya supaya bajunya tidak basah kuyup.

Jurnal Makan – 1 Juni 2021

Memulai pagi dengan rasa perut yang penuh dengan gas. Lalu gak lama kemudian, datang rasa melilit di bagian lambung, layaknya orang maagh yang belum makan dalam kurun wakti lumayan lama.

Mungkin berasal dari rasa lapar yang terabaikan. Apel malang 1/2 potong + 1 biji kurma tunisia pun jadi pengganjal.

Bingung, sarapan apa hari ini? Hampir setiap pagi bergelut dengan pertanyaan ini.

Sayur bening bayam + kecap

Alhamdulillah, tinggal di rumah ini Allah hadirkan dengan kemudahan banyaknya penjual makanan. Salah satunya sayur bening bayam, jagung, wortel ini, tambah tempe mendoan. Masya allah nikmat.. plus telor ceplok yang dimasakin pak suami.

Alhamdulillah lagi, setelah beberapa waktu muncul rasa bersalah akibat makanan yang saya makan kurang lengkap komposisinya.

Juz Amma

9 tahun 3 bulan usiaku ketika itu. Hanya selama waktu itulah aku pernah memiliki seorang ayah sebelum kemudian sebutan ‘anak yatim’ lekat menjadi salah satu predikatku. Mengingat hanya sebentar saja waktu yang pernah aku miliki bersama Papa, maka hanya tersisa sedikit saja kenangan yang berhasil kuingat di sela-sela ribuan memori masa kecilku. Tak banyak yang bisa diharapkan dari anak usia segitu mengingat detil suatu kejadian kan?

Namun ada sebuah kenangan yang masih terekam jelas dalam ingatanku. Bukan sekedar ingatan tentang waktu dan latar tempat kejadian, namun termasuk di dalamnya bagaimana rasa dan emosi yang terbit di dalam hatiku kala itu. Inilah inti kisah yang ingin aku rekam jejaknya lewat tulisan ini. Kisah sebuah Juz Amma bersampul kuning.

Apakah yang menjadikannya istimewa? Jawabannya karena keberadaannya yang menjadi penghubung antara aku dan Papa, melalui kenangan di masa lampau. Kenangan paling kuat yang membuatku merasakan pernah memiliki seorang ayah.

Kala itu aku adalah seorang siswi yang baru saja pindah sekolah. Jika siswa lain terdaftar sedari tahun pertama, maka aku baru resmi menjadi salah satu murid di sebuah sekolah dasar islam terpadu tersebut setahun setelahnya. Bukan karena aku pindah rumah, bukan karena papa ditugaskerjakan di lain kota, tapi karena sebuah tujuan yang sungguh mulia. Sebuah tujuan yang sungguh aku syukuri hingga kini dan aku harapkan menjadikannya salah satu amalan yang tak putus pahalanya bagi Papa.

Kelas 1 SD aku berpindah sekolah 2 kali, keduanya sama-sama di SD Negeri. Memasuki tahun ajaran baru, ternyata aku sudah berganti seragam. Kali ini seragamku jauh berbeda dari sebelumnya. Ada tambahan kerudung yang menutupi kepala, serta bagian lengan baju yang lebih panjang juga rok yang terulur hingga mata kaki. Begitulah, status siswa SD negeri berubah jadi siswa SDIT, Sekolah Dasar Islam Terpadu.

Bukan cuma seragam, aku pun mendapati nama-nama mata pelajaran baru yang belum pernah kudapati sebelumnya. Quran Hadist, Sejarah Kebudayaan Islam, Akidah Akhlak, Fiqh, Tahfiz, Tilawah, Bahasa Arab adalah beberapa nama mata pelajaran baru itu.

Sebagai murid pindahan, kondisi memaksaku untuk beradaptasi mengikuti alur kelas yang sudah ada. Termasuk dalam hal ini ketika pelajaran Tahfiz, pelajaran yang inti utama kegiatannya adalah menghafal ayat-ayat Al-Quran. Prosesnya dimulai dari Juz 30 atau biasa disebut Juz Amma, dari surat paling akhir yaitu An-Naas lalu mundur ke belakang. Oleh karena aku baru datang belakangan, aku langsung bergabung bersama teman sekelas yang hafalannya sudah sampai surat Al-Fajr.

Jangan tanyakan bagaimana nasib hafalanku dari surat An-Naas hingga Al-Balad (satu surat sebelum Al-Fajr), karena sejujurnya hingga kemudian aku dewasa, aku masih tertatih menghafalkannya. Sistem hafalan di kelas kala itu yang dilakukan secara bersama-sama membuatku tak sempat (atau tidak menyempatkan) diri untuk mengejar ketinggalan hafalan pada surat-surat sebelumnya.

Jangan tanyakan pula bagaimana pembelajaranku di rumah. Aku sadar di kemudian hari, alasan Papa dan Mamaku bersikeras memindahkanku ke sekolah islam adalah sebagai salah satu cara mereka agar aku tetap mendapatkan pendidikan agama yang cukup sementara mereka menjadi guru dan dosen mendidik anak-anak lain dan tak sempat mengajariku secara pribadi di rumah. Tak perlu menghakimi bagaimana parenting Papa dan Mamaku dahulu. Mungkin, dengan memberikanku lingkungan belajar yang baik adalah cara terbaik yang mereka pilihkan untukku.

Kembali lagi pada sebuah Juz Amma saku bersampul kuning. Ini adalah Juz Amma pertamaku. Papa yang membelikannya untukku. Sungguh aku masih mengingat bagaimana momen ketika Papa datang mengantarkan Juz Amma itu ke sekolah ketika aku sedang belajar di kelas. Papa datang menghampiriku di sela-sela jam kerjanya. Rasanya saat itu aku senang sekali ketika akhirnya punya Juz Amma sendiri, tak lagi meminjam punya sekolah.

Aku memang belum pernah punya Juz Amma sebelumnya. Aku bahkan tak ingat bagaimana mulanya aku belajar membaca AlQuran. Apakah aku belajar di rumah, ataukah aku baru mempelajarinya saat aku sekolah? Aku sungguh tak ingat. Aku cuma ingat Juz Amma kuning itulah milikku yang pertama.

Benda mungil itulah yang mengantarkanku belajar menghafalkan ayat-ayat dalam Al-Quran. Ayat-ayat yang hingga kemudian aku dewasa sesungguhnya sudah banyak yang terlupakan, tapi masih ada rasa yang terikat ketika mendengar lantunan ayat dari surat-surat terutama dari Juz 29-30.

Aku memang punya sedikit masalah dalam hal mengingat sesuatu. Entah apakah ada hubungannya dengan insiden ketika kecil dulu aku pernah mengalami gegar otak ringan akibat terbentur tembok saat bermain. Jadi menghafal sesuatu bagiku adalah sebuah proses yang kompleks.

Meskipun mungkin hafalan Quranku memang tidaklah banyak, bahkan dari yang sedikit itu sudah banyak yang hilang dan jadi sesuatu yang sering aku sesali, tapi di balik itu semua, aku bersyukur Papa adalah orang yang punya andil dalam proses belajarku. Aku berharap, secuil memori yang masih berhasil kukenang ini kelak menjadi pemberat amalan kebaikan beliau. Berawal dari sanalah aku belajar membaca dan menghafalkan firman-firman Allah.

Bagaimana kabarmu Pa di sana? Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah limpahkan kasih sayangNya padamu, Ia jaga dirimu dari siksa kubur, Ia lapangkan tempatmu beristirahat sementara ini, dan kelak Ia pertemukan kembali kita semua di SurgaNya yang kekal.

Buang Sampah

Pernah gak sih ngerasa kayak gak ada tempat, entah literally tempat atau ‘tempat’ dalam artian seseorang yang bisa jadi tempat kita mau buang sampah?

Sampai akhirnya jadi ngoceh di sini sebenernya karena lagi ngerasain hal itu. Adakalanya isi kepala penuh sama hal ini dan itu, entah pikiran, entah ide, entah perasaan, ya apapunlah. Dan karena saking penuhnya, merasa harus ada yang dikeluarin sebagian supaya bisa tetep lanjut mikir dan bergerak.

Menjejak : Napak Tilas

Sama sekali gak pernah ada dalam bayangan bakalan terjun dan terlibat lebih jauh dalam kesibukan / kegiatan yang berkaitan sama read aloud.

Sampai akhirnya pada satu titik, terpikir untuk mengubah alur fokus. Bila semula semuanya selalu di balik nama Mamalova, maka kini tidak lagi selalu.